Jumat, 29 Mei 2009

Tantrum

“maaf Re tidak boleh!!!!!!!” teriak sang guru dengan spontan ketika Re, salah satu anak muridnya berkata “ mama setan”….”mama setan”…dan menuliskannya di papan tulis.



Mendengar teriak sang guru, Re pun bukannya berhenti berkata tapi kemudian anak itu malah berteriak seperti orang mengerang “haaaaah”, anak itu spontan menarik gurunya sekuat tenaga sampai hampir terjatuh. Kemudian dia membalikkan semua meja yang ada di dalam kelas sambil berteriak – teriak….


Yah Re tantrum…., seorang anak murid autisku…badannya tinggi besar, tingginya sudah sama denganku tapi badannya lebih besar dari badanku, kulitnya sangat halus dan putih, umurnya sudah delapan tahun, Dia bisa di kategorikan anak super jenius, sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar, serta mempunyai daya tangkap yang tinggi. Dia masih berada di Taman Kanak – kanak karena masih memerlukan terapi perilaku walaupun dari segi akademis dia termasuk anak jenius…


Guru kelasnya terus memanggilnya “Re”…. Maaf” itu adalah kalimat larangan yang boleh di pakai di sekolah kami waktu itu… tapi Re terus mengamuk melemparkan benda – benda yang ada di sekitarnya, teman –temannya ketakutan…


Aku mendekatinya dan berusaha untuk meraihnya….sekuat tenaga aku memeluknya…aku mengerahkan seluruh kekuatanku untuk memeluknya karena tubuhnya lebih besar dariku sampai akhirnya dia tenang… 


Perlahan aku melepaskan pelukanku dan memegang kedua pipinya, aku menatap matanya dan tersenyum.. aku hanya berkata “Bunda sayang sama Re”……”mau belajar sama bunda asy di ruang komputer?” tanyaku kepadanya pelan..
“mau” jawabnya sambil menarik tanganku menuju ruang komputer.


Aku menyalakan komputer dan memutarkan musik klasik supaya dia tenang. Dia duduk dan tersenyum lucu… Re sebenarnya adalah anak yang sangat menyenangkan…aku mulai mengajaknya bicara…waktu itu kami sedang belajar tentang tema keluarga..



Aku mulai bertanya kepadanya..” bunda boleh tahu tidak, ada siapa saja di rumah Re?” “ada ayah, ada mama, ada abang, ada mbak dan Re” jawabnya polos.
“Re bisa tulis, Re sayang ayah” pintaku kepadanya. Kemudian dia pun menuliskan apa yang aku katakana. “lalu Re sayang siapa lagi?” tanyaku.
Kemudian dia menulis sambil berkata “ Re sayang abang”. Aku hanya tersenyum untuk memberikan apresiasiku kepadanya. “trus mama?” kataku setengah bertanya.

Tapi diluar dugaanku dia tidak menulis Re sayang mama seperti yang dia lakukan terhadap ayah dan kakaknya, tetapi dia menulis “mama setan” nafasku seperti terhenti, aku tidak tahu bagaimana sedihnya mamanya kalau tahu ini. Aku hanya diam dan menggelengkan kepalaku tanda tidak setuju. Aku mengambil penghapus dan menghapusnya. “ Re....bisa tolong bunda, buat yang lebih bagus?” kataku padanya…

Tapi dia mengulangi hal yang sama. Entah apa yang terjadi dengan anak ini di rumah, aku tidak berani mengambil kesimpulan.


Aku mengambil selembar kertas dan menggambar seorang wanita hamil.
 Lalu aku menunjukkan gambar itu pada Re…” Re tahu ini siapa?” tanyaku
Dia hanya melihat sekilas, “ Re… lihat, ini mama. Re tahu? Dulu Re ada di dalam perut mama, dulu Re di bawa kemanapun mama pergi, lalu setelah Re lahir, mama kasih susu untuk Re, mama kasih makan, mama mandiin Re…..sampai Re besar seperti sekarang bisa bermain sama teman – teman….. mama baik tidak Re?” kataku menjelaskan kepadanya.

Dia hanya mengangguk, “nah sekarang Re sayang kan sama mama?”tanyaku kepadanya sekali lagi. “sayaaang” jawabnya dengan suara besar. “ sekarang bisa tulis, Re sayang mama?” tanyaku, kemudian dia menulisnya…”Subhanallah Re pintar Give me five!!!” pujiku kepadanya sambil mengajaknya tos (give me five)….



“Re ingat apa yang sudah Re lakukan tadi di kelas?” tanyaku. “iya” dia hanya menjawab singkat, Sekarang kita kembali kekelas dan minta maaf sama bunda Sita dan teman – teman Re ya….”
Dia kemudian bangun dari duduknya dan bergegas menuju kekelas. “katakan apa sama bunda Sita?” Tanya ku di perjalanan menuju kelas. “ Re sayang mama, Re sayang Bunda”. “Re sayang mama, Re sayang bunda” aku ikut mengulanginya…


Sampai di kelas ku biarkan Re mengetuk pintu dan mengucap salam, dia masuk kekelas dan berkata persis di hadapan gurunya “ Bunda Re Minta maaf, Re sayang mama, Re Sayang bunda”

Aku tersenyum dan keluar kelas, aku menarik nafas dalam – dalam karena air mataku hampir saja menetes melihatnya melakukan itu…..

Aku baru sadar, kalau ternyata untuk menjadi seorang guru tidak hanya butuh kemampuan intelektual yang tinggi, tapi dibutuhkan sorot mata bersahabat, tutur kata dan sentuhan  lembut, senyum yang tulus, hati yang ikhlas dan jiwa yang lapang…

Mudahkah itu?

 

Rabu, 13 Mei 2009

Ketika Haikal Mulai Bicara

“Halo haikal” assalamu ‘alaikum?
Sapaku kepada haikal suatu pagi. “walaikum salam” jawabnya sambil melihat sekelilingnya, matanya masih kemana – mana, tidak fokus pada satu hal yang dilihatnya.
Aku tersenyum dan mengusap rambutnya. “haikal apa kabar?” aku melanjutkan pertanyaannku.
“ baik” jawabnya
“ haikal sedang apa?”
“Bermain”
“wah ini apa ya?”tanyaku kepadanya sambil menunjukkan sebuah buku.

"Ini buku” jawabnya singkat, sambil naik ke sebuah ayunan…..


Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana bahagia dan bersyukurnya aku saat itu.
Setelah hampir dua tahun aku mengajaknya bicara, lebih tepatnya aku bicara sendiri kepadanya. Menemaninya bermain dan memperhatikannya…..
Akhirnya hari itu haikal mulai mau berbicara seperti anak – anak lain walaupun kadang – kadang masih membeo.
Masih teringat jelas dalam ingatanku ketika pertama kali aku bertemu dengannya;

15 agustus 2005. aku memasuki gedung sekolah Taman Kanak – Kanak berwarna orange di daerah depok. Waktu itu aku baru semester tiga awal. Belum ada yang kudapat dari bangku kuliah sebagai bekal untuk mengajar. Dan pekerjaan yang aku ambil ini agak melenceng dari jurusanku.


Autisme……..
Yah aku mengawali karirku di dunia pendidikan sebagai shadow teacher untuk anak – anak autisme. Aku buta dan tidak punya keahlian tentang hal ini. Tapi aku yakin kalau aku bisa. Awalnya aku menerima tawaran ini karena aku ingin mencari “tombo ati”. Kata opik obat hati ada lima perkara dan salah satunya adalah berkumpul dengan orang – orang sholeh. Intinya aku ingin belajar dari mereka untuk hidupku yang lebih baik dan memperbaiki hubunganku dengan Tuhan. Dan sekolah ini adalah sekolah Islam terpadu. Awalnya aku merasa tidak pantas masuk ke sekolah itu, tapi teman – teman disana sangat bersahabat dan membimbingku dengan tulus.

Kulitnya putih bersih dan ganteng, dia kelihatan sangat lucu dengan rambut brokolinya.. Ibunya memberiku penjelasan sebentar tentang kondisi anaknya. Kupersembahkan senyuman tulus dan termanisku saat pertama kali aku bertemu dengannya. Sekilas tidak ada masalah dengan anak ini.


Aku tersenyum dan menyapanya “assalamu ‘alaikum?”
Tapi tak ada respond apapun dan bahkan dia tidak melihatku. Dia asyik memainkan jarinya dan bersenandung tidak jelas.
“walaikum salam bunda” ibunya menjawab memberi contoh. Tapi dia tetap tidak bergeming.
Jujur aku bingung harus bagaimana, karena aku belum tahu banyak tentang anak special needs seperti haikal.

Aku menjabat tangannya dan mengusap pundaknya berusaha menemukan tatap matanya. ”halo haikal, ini bunda Asy”. Kataku padanya memperkenalkan diri, walaupun dia mungkin menganggapku tak ada.


Setelah perkenalan singkat itu ibunya pulang, dan aku mengajak haikal untuk masuk kelas. Aku belum melakukan apa – apa, aku hanya memperhatikannya… dia duduk diantara lego – lego kemudian mengambilnya satu demi satu, memainkanya seperti pesawat terbang, sambil berceloteh tidak jelas, kemudian memindahkan lego – lego itu satu persatu kesebelah kiri tubuhnya , sampai semua lego – lego itu habis, kemudian dia berputar dan melakukan hal yang sama berulang – ulang.


Aku duduk di hadapannya dan berusaha mengalihkan perhatiaanya, “haikal, ini lego” lego….lego….kataku berulang - ulang.
Aku tidak memaksanya untuk meniru apa yang aku katakan, aku yakin dia mendengarku, walaupun dia asyik dengan lego – lego itu dan terus memindahkannya.
Aku melemparkan salah satu lego ke pojok ruangan, kemudian aku katakan padanya, “ ambil “…..haikal tolong ambil…..ambil…..ambil…..”kataku perlahan. Haikal tetap tak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya dan dia terus memindahkan lego – lego itu dan terus berputar. Aku memegang tanganya dan mengajaknya kepojok ruangan untuk mengambil lego yang tadi aku lemparkan. “ lego ini…..” kataku “Tolong ambil” matanya memandang sekeliling ruangan dan tidak menatapku sedikitpun, aku memberikan prompt untuk mengambil lego itu.

Walaupun matanya tidak melihat kearah lego itu sama sekali, tapi dia menurut ketika aku menarik tangannya untuk menagamil lego itu, kemudian dia mengambilnya, “nah…. Ambil….” “Haikal hebat” kataku memujinya. “Oke…. Bunda beri hadiah…..” lalu aku menciumnya…dan bertepuk tangan untuknya. Dia hanya tersenyum sekilas kemudian kembali kearah legonya…


Aku melemparkan salah satu lego lagi ke pojok ruangan kemudian melakukan hal yang sama berulang kali, sampai waktu istirahat. Aku mengajaknya keluar untuk bermain, begitu dia lepas dari genggaman tanganku, dia langsung berlari ke kelas atas memasuki setiap ruangan dan berputar di kolong – kolong meja, kemudian dia turun lagi dan kembali naik kekelas atas, aku sempat kewalahan mengikutinya.


Seorang guru membantuku untuk menangkapnya. Kemudian aku menuntunya untuk menuruni tangga. “ayo kita turun” ajaku sambil menuntunnya, “turun”…..”turun’’…..turun….ucapku selagi aku dan haikal menuruni tangga, aku terus bicara padanya, aku hanya yakin kalau dia akan mendengarku dan suatu saat akan mau berbicara seperti anak – anak yang lain.

Aku mengajaknya untuk duduk di sebuah ayunan kemudian memegang kedua tangannya, aku menarik tangannya supaya dia memegang kedua pipiku, dan akupun melakukan hal yang sama memegang kedua pipinya untuk mendapat “eye contact” dengannya. “ini pipi”……ini pipi…. pipi….kataku berulang – ulang.


Hari – hari itu rasanya terbayar sudah pagi ini….
hari dimana Haikal mulai bicara…..

Berkali – kali aku mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah…, dan aku merasa harus berterimakasih kepada haikal…


Dia sudah membuatku untuk belajar sabar
Dia sudah membuatku untuk belajar menghadapi tantangan dan rintangan hidup
Dia sudah membuatku belajar untuk tidak mudah menyerah dan berputus asa….

Dia sudah membuatku belajar bahwa dalam hidup ini diperlukan suatu proses yang panjang untuk mencapai sesuatu…..


Ingin rasanya aku melompat, berjingkrak – jingkrak tepatnya dan memeluk Ibunya untuk mengungkapkan kebahagiaanku….
Tapi tentu saja itu tidak aku lakukan…. Karena nanti dikira gantian aku yang autis….ha ha ha….